Kamis, 18 Februari 2010

Citra versus Etika

Menurut kamus Bahasa Indonesia, pengertian citra adalah rupa atau gambaran. Citra atau gambaran seorang individual seringkali dinilai dari luar maupun dalam. Gambaran dari luar biasanya dinilai dari bagaimana individu itu berpenampilan, sedangkan gambaran dari dalam biasanya dinilai melalui perilaku individu tersebut.
Hal yang sama berlaku pula untuk organisasi, lembaga atau kelompok komunitas yang melibatkan banyak individu yang terhimpun dalam satu wadah. Citra organisasi dapat dinilai berdasar bagaimana organisasi tersebut menyikapi suatu permasalahan. Tetapi, organisasi juga dapat dinilai berdasar tampilan luar mereka, misalnya fasilitas yang mereka miliki.
Sedangkan, menurut Kamus Bahasa Indonesia, pengertian etika adalah ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Etika individu atau organisasi hanya dapat dinilai dengan bagaimana mereka menyikapi individu lain, organisasi lain, atau sebuah permasalahan.
Etika erat kaitannya dengan citra. Citra bisa sangat tergantung dengan etika. Ketika etika individu atau organisasi dinilai tidak baik, maka saat itu juga citranya dinilai tidak baik.
Saat ini, masyarakat banyak meributkan mengenai pemerintah yang berusaha lebih meningkatkan citra mereka dengan beragam fasilitas mewah dibanding mengurusi masalah-masalah di masyarakat. Sebagai contoh konkret, adanya wacana pembelian pesawat kepresidenan yang menghabiskan dana negara tujuh ratus milyar rupiah, perbaikan pagar istana negara yang memakan biaya dua milyar, dan pemberian fasilitas mobil dinas kepada anggota parlemen seharga satu koma tiga milyar per mobil. Belum fasilitas rumah mewah yang disediakan bagi anggota DPR-RI dan kenaikan gaji yang sebentar lagi akan mereka dapatkan.
Sungguh suatu ironi yang tragis. Masalah kemasyarakatan masih banyak terjadi dimana-mana. Berbagai masalah sosial yang banyak terjadi, misalnya saja masih banyak anak yang menderita gizi buruk, pencurian dan perampokan, kelaparan, belum tersedianya fasilitas yang memadai di daerah-daerah terpencil, dan masih banyak lagi, belum ditanggapi secara serius. Di saat rakyat sedang menderita, pemerintah dan kalangan elit malah berusaha meningkatkan citra luar mereka.
Berbanding terbalik dengan citra luar, pemerintah sepertinya tidak berniat meningkatkan citra dalam mereka, dalam hal ini etika. Hal ini dapat dilihat paling jelas dalam rapat anggota Pansus Century beberapa waktu lalu. Saat itu, beberapa anggota elit pemerintahan malah bersitegang dan mengeluarkan kata-kata yang tidak sepantasnya dikeluarkan. Apalagi, rapat yang dimaksud adalah rapat untuk menyelesaikan masalah besar negara yang sangat ditunggu penyelesaiannya oleh banyak pihak. Rapat yang seharusnya dilangsungkan dengan kepala dingin dan etika rapat yang baik, malah berlangsung dengan kepala panas yang mengakibatkan etika rapat seperti dilupakan.
Peningkatan citra luar yang dilakukan pemerintah tidak diikuti dengan peningkatan citra dalam, yang seharusnya lebih penting. Jika pemerintah ingin rakyat lebih mengapresiasi dan menghargai pemerintah, maka seharusnya pemerintah dapat meningkatkan citra mereka, lebih-lebih citra yang memihak rakyat. Caranya dapat dilakukan dengan meningkatkan kinerja, tidak mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan kondisi rakyat sekarang, dan masih banyak cara lain lagi yang dapat dilakukan.
Dengan begitu, diharapkan antara rakyat dan pemerintah dapat terjadi kesinambunga, saling mendukung.